Loading...
Indera7.Com - Seri foto langit Jakarta, sebelum dan sesudah ditinggal pemudik, sukses bikin netizen terpukau.
Amadeus Pribowo, warga Jakarta Selatan, berhasil memotret cerahnya Ibu Kota 'tanpa polusi udara', dari atas balkon apartemennya.
Foto-foto tersebut, yang dijepret dengan ponsel antara H-1 Lebaran dan H+2 Lebaran, ia posting ke akun Facebook.
Netizen kebanyakan terpukau dan postingan tersebut telah dibagikan sebanyak lebih dari 7.000 kali.
''Gunung Salak. Tahun 70-an kata almarhum bokap emang Gunung Salak emang kelihatan,'' komentar akun Facebook Astried Yunita Hair.
Foto viral Amadeus memberikan pembanding visual saat langit Jakarta masih tampak kecokelatan pada 24 Juni (H-1 Lebaran) dan saat ia mampu melayangkan pandang ke Gunung Salak sewaktu langit jernih pada 27 Juni (H+2 Lebaran).
''Kalau ada yang bilang, jangan-jangan karena mendung, itu kalau dilihat tanggal 24 dan 27 cuaca kira-kira sama. Terlihat jelas bedanya. Memang 25 dan 26 cerah,'' ungkap lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai Wakil Rektor Indonesia International Institute for Life Sciences.
''Langit di Jakarta abu-abu. Jarang banget ngeliat langit biru. Lumayan penasaran, abu-abu itu karena polusi dari kendaraan atau polusi dari kegiatan industri? Makanya saya coba ambil fotonya pagi-pagi antara jam 7, jam 8,'' kata Amadeus.
Sebagai masukan, Amadeus menyarankan agar pemerintah memantau kualitas udara secara rutin, supaya warga memperoleh informasi saat kualitas udara memburuk dan tidak sehat lagi. Saat ini, ia justru memperoleh informasi kualitas udara Jakarta dari layanan milik pemerintah Amerika Serikat aquicn.org.
''Sebelum pindah ke Jakarta, saya tinggal di Kanada. Setiap kali ada masalah dengan kualitas udara, waktu itu sempat ada kebakaran hutan di sana, pemerintahnya mengeluarkan informasi secara detail bahwa kualitas udara sangat buruk. Bagi ibu hamil, balita, dan bagi yang punya asma jangan keluar.''
Halaman selanjutnya
Kasat mata
Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sepakat bahwa foto seri yang viral tersebut memberi pembanding yang jelas.
''Saya lihat di Facebook. Itu jelas kentara bedanya... Memang hampir dipastikan, minggu-minggu ini udara bersih. Apalagi kan sekarang tahun basah, beberapa kali hujan. Tadi malam juga. Ditambah kendaraan tidak terlalu banyak,'' ungkapnnya.
''Yang bisa ditandakan lagi sama penduduk Jakarta, kalau udara bersih maka kelihatan gunungnya. Kalau kotor tidak terlihat sama sekali. Apalagi arah selatan ada banyak jalan, seperti Jagorawi dan Bogor.''
Bertepatan dengan libur panjang dan di saat sebagian besar kaum urban bertolak ke kampung halaman, maka menurut Edvin debu dan asap buang knalpot 'berkurang banyak'. Dua komponen ini disebut sebagai pencemar utama bagi langit Jakarta.
''Warnanya kayak cokelat tua begitu. Dia ngambang dan enggak lepas. Sekitar satu kilometer mengambangnya, biasa itu di sore hari.''
Sesuai karakteristik polusi di Ibu Kota, imbuh Edvin, kotoran akan mulai berkumpul di udara pada sore hari. Rentangnya mulai pukul 14 sampai pukul 16. Saat itu radiasi matahari dan suhu udara sedang panas, sehingga polusi maksimal.
Diakui oleh Edvin, saat ini layanan pemantau udara di Indonesia memang belum sampai pada informasi indeks lingkungan seperti di negara maju. Pemantauan belum menggabungkan indeks kualitas udara dan data cuaca.
''Jadi memang kalau masyarakat sudah ingin ke arah sana, prosesnya tidak rumit. Datanya ada, rumusnya juga ada. Salah satu persoalannya yaitu masih ada tumpang tindih wewenang, air quality index masih dipegang Kementerian Lingkungan dan data cuaca di BMKG.''
Sumber:tribunnews.com
Amadeus Pribowo, warga Jakarta Selatan, berhasil memotret cerahnya Ibu Kota 'tanpa polusi udara', dari atas balkon apartemennya.
Foto-foto tersebut, yang dijepret dengan ponsel antara H-1 Lebaran dan H+2 Lebaran, ia posting ke akun Facebook.
Netizen kebanyakan terpukau dan postingan tersebut telah dibagikan sebanyak lebih dari 7.000 kali.
''Gunung Salak. Tahun 70-an kata almarhum bokap emang Gunung Salak emang kelihatan,'' komentar akun Facebook Astried Yunita Hair.
Foto viral Amadeus memberikan pembanding visual saat langit Jakarta masih tampak kecokelatan pada 24 Juni (H-1 Lebaran) dan saat ia mampu melayangkan pandang ke Gunung Salak sewaktu langit jernih pada 27 Juni (H+2 Lebaran).
''Kalau ada yang bilang, jangan-jangan karena mendung, itu kalau dilihat tanggal 24 dan 27 cuaca kira-kira sama. Terlihat jelas bedanya. Memang 25 dan 26 cerah,'' ungkap lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai Wakil Rektor Indonesia International Institute for Life Sciences.
''Langit di Jakarta abu-abu. Jarang banget ngeliat langit biru. Lumayan penasaran, abu-abu itu karena polusi dari kendaraan atau polusi dari kegiatan industri? Makanya saya coba ambil fotonya pagi-pagi antara jam 7, jam 8,'' kata Amadeus.
Sebagai masukan, Amadeus menyarankan agar pemerintah memantau kualitas udara secara rutin, supaya warga memperoleh informasi saat kualitas udara memburuk dan tidak sehat lagi. Saat ini, ia justru memperoleh informasi kualitas udara Jakarta dari layanan milik pemerintah Amerika Serikat aquicn.org.
''Sebelum pindah ke Jakarta, saya tinggal di Kanada. Setiap kali ada masalah dengan kualitas udara, waktu itu sempat ada kebakaran hutan di sana, pemerintahnya mengeluarkan informasi secara detail bahwa kualitas udara sangat buruk. Bagi ibu hamil, balita, dan bagi yang punya asma jangan keluar.''
Halaman selanjutnya
Kasat mata
Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sepakat bahwa foto seri yang viral tersebut memberi pembanding yang jelas.
''Saya lihat di Facebook. Itu jelas kentara bedanya... Memang hampir dipastikan, minggu-minggu ini udara bersih. Apalagi kan sekarang tahun basah, beberapa kali hujan. Tadi malam juga. Ditambah kendaraan tidak terlalu banyak,'' ungkapnnya.
''Yang bisa ditandakan lagi sama penduduk Jakarta, kalau udara bersih maka kelihatan gunungnya. Kalau kotor tidak terlihat sama sekali. Apalagi arah selatan ada banyak jalan, seperti Jagorawi dan Bogor.''
Bertepatan dengan libur panjang dan di saat sebagian besar kaum urban bertolak ke kampung halaman, maka menurut Edvin debu dan asap buang knalpot 'berkurang banyak'. Dua komponen ini disebut sebagai pencemar utama bagi langit Jakarta.
''Warnanya kayak cokelat tua begitu. Dia ngambang dan enggak lepas. Sekitar satu kilometer mengambangnya, biasa itu di sore hari.''
Sesuai karakteristik polusi di Ibu Kota, imbuh Edvin, kotoran akan mulai berkumpul di udara pada sore hari. Rentangnya mulai pukul 14 sampai pukul 16. Saat itu radiasi matahari dan suhu udara sedang panas, sehingga polusi maksimal.
Diakui oleh Edvin, saat ini layanan pemantau udara di Indonesia memang belum sampai pada informasi indeks lingkungan seperti di negara maju. Pemantauan belum menggabungkan indeks kualitas udara dan data cuaca.
''Jadi memang kalau masyarakat sudah ingin ke arah sana, prosesnya tidak rumit. Datanya ada, rumusnya juga ada. Salah satu persoalannya yaitu masih ada tumpang tindih wewenang, air quality index masih dipegang Kementerian Lingkungan dan data cuaca di BMKG.''
Sumber:tribunnews.com